Seperti kita ketahui bersama, perubahan jaman membawa dampak yang luar biasa dalam dunia pendidikan. Kemajuan teknologi merupakan salah satu bukti dari sekian perubahan (revolusi) peradaban. Kemajuan teknologi tidak 100% berdampak positif, melainkan banyak juga dampak negatifnya. Ibaratkan seperti pisau yang bermata dua. Untuk mencegah terciptanya kerusakan moral pada anak, yang diakaibatkan berbagai macam informasi teknologi, dari internet, televise, radio, film, dan lain sebagainya. sebagai langkah untuk menganmtisipasinya, sebaiknya Anda mulai memantau dan mengawasi perkembangan anak dalam keseharian yang dikarena berbagai macam perkembangan teknologi, seperti media-media elektronik, multimedia, internet menyajikan adegan-adegan yang tak senonoh, hanya untuk kepengtingan mereka saja, tanpa melihat dampaknya bagi masyarakat. Hal ini sangat berbahaya bagi perkembangan anak. Masih ingatkah Anda dengan tayangan gulat yang dulu ditayangkan disalah satu televisi swasta, yang akhirnya sekarang dilarang pengadaanya kembali oleh pemerintah karena menciderai prilaku dan moral bagi anak-anak. Pelarangan tersebut dikarenakan adegan-adegan ironis itu menstimulus prilaku anak untuk mengikutinya, yang akhirnya bermunculan korban tewas dan luka berat, sebagai bentuk pengimplementasian adegan tersebut oleh anak-anak terhadap temannya sendiri. Mengetgahui keadaan tersebut, peran orang tua sangat diperlukan dalam melakukan kontrol terhadap anak, baik itu dalam pembelajaran, pergaulan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Pada masa pertumbuhan, anak bersifatkan sensitif dan aktif dalam mencontoh prilaku dari orang lain disekitarnya. Baik itu, tindakan, ucapan, kebiasaan, dan lain sebagainya. Untuk itu orang tua harus tanggap pada fase tersebut dengan menyajikan hal-hal yang baik kepada anak, salah satu penyajiannya dengan memberikan contoh kepada anak yang baik, seperti dalam ucapan-ucapan yang baik, berbuat baik dengan saling tolong-menolong, beribadah dan lain sebagainya, sehingga anak akan terstimulus untuk mengikuti perbuatan baik tersebut.
Perlu diketahui bersama bahwa, pada umumnya seorang anak mulai mengikuti program pendidikan yang terkurikulumkan setelah menginjak usia 2 tahun atau bahkan 4 tahun, yaitu dengan memasuki pendidikan prasekolah seperti play grup atau sejenisnya. Sementara itu, sebelumnya kebanyakan anak dibiarkan belajar tanpa kurikulum yang direncanakan. Sering terdengar ungkapan orang tua yang mengatakan, “Umur anak saya baru dua tahun. Terlalu muda untuk sekolah., nanti saja! kalau sudah lima tahun”. Itulah pemikiran yang telah lama berkembang pada rata-rata orang tua, khususnya di Indonesia . Padahal berdasarkan berbagai riset yang dilakukan para ahli pendidikan di Amerika misalnya, kemampuan terhebat dari manusia dalam menyerap berbagai pelajaran ternyata justru berlangsung ketika manusia masih berusia di bawah lima tahun.
June R. Oberlander dalam bukunya “Slow and Steady, Get Me Ready”, belajar dimulai sejak lahir. Penelitian pada perkembangan otak menunjukkan bahwa waktu yang sangat baik untuk memaksimalkan kecerdasan anak harus dimulai pada tiga tahun pertama; semakin muda semakin kuat pengaruhnya. Memulai pembelajaran pada usia lima tahun, boleh dikatakan sudah terlambat.
Gordon Dryden dan Jeanette Voss, mengungkapkan dalam bukunya The Learning Revolution, bahwa para peneliti membuktikan, 50 persen kemampuan belajar kita ditentukan pada empat tahun pertama, dan membentuk 30 persen yang lain sebelum mencapai usia delapan tahun, serta sisanya pada usia setelah itu. Namun ironisnya, hampir di setiap negara alokasi dana untuk pendidikan empat tahun pertama, di mana 50 persen pertumbuhan otak sedang berlangsung, justru hanya kurang dari 10 persen saja dari anggaran nasionalnya.
Tony Buzan, seorang ahli psikologi dari Inggris, mengatakan bahwa, “Pada saat seorang anak dilahirkan, ia sebenarnya benar-benar brilian. Hanya dalam dua tahun, daya serap bahasanya jauh lebih baik daripada seorang doktor di bidang apapun. Dan ia telah dapat menguasainya pada usia tiga atau empat tahun”. Seorang anak bisa belajar banyak hal dari apa yang dilihat, didengar, dan dari seluruh aktivitas bermain yang ia lakukan. Mereka belajar dengan bermain. Hal tersebut diperkuat oleh penuturan Jean Marzollo dan Janice Lloyd dalam bukunya, “Learning Through Play” yang mengatakan bahwa, “Dulu kami berpikir bahwa bermain dan pendidikan adalah dua hal yang saling berlawanan. Namun sekarang kami memahaminya. Para ahli pendidikan dan spesialis anak-anak menemukan bahwa bermain adalah belajar, malah lebih jauh lagi, bahwa bermain adalah metode belajar yang paling efektif.”
SUMBER : Prio Suyogi, 2010. Pendidikan Karakter Anak. Yogyakarta. Laskar Matahari Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar